KOLOID
1.
Pengertian
Koloid
Istilah koloid dikemukakan oleh Thomas Graham
(1805-1869). Pada tahun 1861, ia meneliti proses difusi berbagai zat dalam
medium cair. Graham mengamati bahwa zat seperti kanji, gelatin, getah, dan
albumin berdifusi sangat lambat dan tidak mampu menembus membran tertentu.
Kelompok zat ini diberi nama koloid, yang berarti seperti lem (dalam bahasa
Yunani kolla berarti lem dan oidos berarti seperti). Dalam hal
ini, yang dikaitkan dengan lem adalah sifat difusinya, sebab sistem koloid
mempunyai nilai difusi yang rendah, seperti lem.
Sistem koloid adalah suatu campuran yang
keadaannya terletak antara larutan dan suspensi (campuran kasar).
Terkadang koloid dapat mengendap jika
didiamkan dalam waktu lama. Dalam
pengertian lain koloid adalah campuran heterogen dua fase dari dua zat atau lebih dimana
partikel-partikel berukuran koloid tersebar (terdispersi) merata dalam zat lain. Zat yang tersebar sebagai
partikel koloid disebut fase terdispersi. Sedangkan zat yang
merupakan fase kontinyu di mana partikel koloid terdispersi disebut medium
pendispersi.
Koloid berbeda dengan larutan dan suspensi (campuran kasar).
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Larutan |
Koloid |
Suspensi |
Contoh
: Campuran
gula dalam air |
Contoh
: Campuran
susu dalam air |
Contoh
: Campuran
terigu dalam air |
1.
Homogen |
1.
Secara
makroskopis homogen, tetapi heterogen jika diamati dengan mikroskop ultra |
1.
Heterogen |
2.
Ukuran
partakel < 1 nm |
2.
Ukuran
partikel 1 -100 nm |
2.
Ukuran >
100 nm |
1.
Satu fase |
3.
Dua fase |
3.
Dua fase |
2.
Stabil |
4.
Umumnya
stabil |
4.
Tidak stabil |
3.
Tidak dapat
disaring |
5.
Tidak dapat
disaring kecuali dengan penyaring ultra |
5.
Dapat
disaring |
Tabel 3. Perbedaan larutan, koloid dan suspensi
√ Contoh
larutan : larutan gula, larutan garam,
spiritus, alkohol 70%,
larutan
cuka, udara yang bersih, dan sebagainya.
√ Contoh koloid
: sabun, susu, santan, jeli, selai, mentega
dan
mayonnaise
√ Contoh
suspensi : air sungai yang
keruh, campuran air dengan pasir,
campuran kopi dengan air dam campuran minyak
dengan air.
1.
Jenis-Jenis
Koloid
Sistem koloid terdiri
atas dua fase, yaitu:
a.
Fase terdispersi/ diskontinu (zat yang
fasenya tetap pada sistem koloid)
b.
Fase pendispersi/ kontinu (zat yang
fasenya berubah pada sistem koloid)
Penggolongan sistem koloid adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Jenis Koloid
1.
Sifat-Sifat
Koloid
a.
Berdasarkan
sifat Optik
Berdasarkan sifat optik
pada koloid terdapat beberapa sifat-sifat lagi yaitu :
1.
Efek
Tyndall
Efek
Tyndall merupakan gejala penghamburan cahaya yang dijatuhkan oleh seberkas
cahaya yang dijatuhkan pada sistem koloid. Sifat penghamburan cahaya oleh
sistem koloid ditemukan oleh John Tyndall. (1820-1893), seorang
ahli fisika Inggris. Oleh karena itu, sifat ini disebut efek Tyndall. Efek
Tyndall merupakan salah satu cara sederhana yang dapat digunakan untuk
mengetahui apakah suatu dispersi merupakan koloid atau bukan.
Sebagai
contoh, air susu dan larutan gula yang di sorot dengan lampu senter. Sinar yang
melewati air susu akan dihamburkan oleh partikel-partikel susu, kemudian
diabsorpsi (gambar b) . Dengan demikian, sinar tersebut tidak diteruskan.
Sementara itu, sinar yang melewati larutan gula akan diteruskan tanpa
dihamburkan (gambar a).
Gambar 6. Efek Tyndall
(a) larutan sejati meneruskan cahaya, berkas cahaya tidak kelihatan; (b) sistem
koloid menghamburkan cahaya, berkas cahaya kelihatan
Dalam kehidupan sehari-hari, efek Tyndall dapat
dilihat pada peristiwa berikut.
§ Sorot
lampu mobil pada malam yang berkabut.
§ Warna
langit yang biru pada siang hari, kemerahan pada pagi dan sore hari.
§ Berkas
sinar matahari melalui celah daun suatu pohon pada pagi hari yang berkabut.
1.
Gerak
Brown
Sifat fisika lain dari koloid
adalah gerak partikel-partikelnya. Apabila suatu mikroskop berkekuatan tinggi
(mikroskop ultra) difokuskan tegak lurus melalui berkas Tyndall, akan terlihat
partikel-partikel koloid yang bergerak secara terus-menerus dan membentuk garis
zig-zag. Gerakan partikel tersebut dinamakan dengan gerak Brown. Brown adalah
nama seorang ahli botani dari Inggris, Robert
Brown (1827). Robert Brown mengamti gerak acak dari serbuk sari bunga
dengan mikroskop ultra.
Gerak Brown dapat diamati melalui
mikroskop dengan cara diarahkan pada suatu koloid dengan arah arah tegak lurus
maka akan terlihat bintik-bintik berkilauan. Dengan mengikuti bintik-bintik
tersebut dapat dilihat bahwa partikel koloid bergerak terus secara acak menurut
jalan yang tak terarah. Selama lebih dari 80 tahun tidak ada ilmuwan yang dapat
menerangkan gerak tersebut. Baru pada tahun1905, Albert Einstein mengadakan analisis secara matematis terhadap gerak
Brown. Gerak tersebut menunjukkan bahwa partikel mikroskopis yang melayang
dalam suatu medium melakukan suatu gerak acak akibat adanya tumbukan
molekul-molekul pada sisi partikel yang tidak sama. Ramalan Einstein diuji
secara laboratorium oleh Jean Perrin dan
terbukti kebenarannya.
Temperatur sangat mempengaruhi
gerak Brown. Makin tinggi suhu koloid, makin cepat gerak Brown yang terjadi.
Pada suhu yang tinggi, energi kinetik molekul medium pendispersi meningkat
sehingga tumbukan yang dihasilkan makin kuat. Gerak Brown merupakan salah satu
faktor yang menstablkan koloid. Karena bergerak terus-menerus maka partikel
koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak mengendap.
Gambar 7.
Gerakan Brown oleh partikel sistem koloid
a.
Berdasarkan
sifat listrik
Berdasarkan sifat listrik pada koloid terdapat
beberapa sifat lagi yaitu :
1.
Elektroforesis
Pembentukan muatan pada partikel
koloid menghasilkan muatan yang sejenis pada tiap partikel. Adanya muatan
sejenis tersebut mengakibatkan terjadinya gaya tolak-menolak antar-partikel
koloid. Dengan demikian, partkel koloid tidak dapat bergabung sehingga terjadi
kestabilan sistem koloid.
Partikel koloid akan mengalami
pergerakan akibat pengaruh medan listrik yang disebut elektroforesis. Partikel
koloid yang bermuatan negatif akan bergerak ke anode (elektrode positif),
contohnya As2S3, logam seperti emas (Au), raksa (Hg), dan
tanah liat. Adapun partikel koloid yang bermuatan positif bergerak ke katode
(elektrode negatif), contohnya Fe(OH)3, Al(OH))3, dan
hemoglobin. Oleh karena itu, elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan
jenis muatan koloid.
Gambar 8.
Elektroforesis suatu sol positif
Mula-mula tabung U diisi dengan air
dan dispersi koloid dimasukkan lewat tabung tengah. Jika arus listrik searah
dialirkan ke dalam sistem dispersi melalui kedua elektrode (negatif dan
positif), dispersi koloid akan bergerak. Partikel koloid yang bermuatan positif
akan bergerak menuju elektrode negatif dan koloid yang bermuatan negatif akan
bergerak menuju elektroda positif,
sehingga koloid menjadi netral dan partikel koloid ini akan mengalami
koagulasi.
Prinsip elektroforesis digunakan
untuk membersihkan asap buangan suatu industri dengan alat Cottrell. Asap buangan industri dilewatkan pada dua pelat elektrode
listrik dengan tegangan tinggi. Partikel-partikel koloid akan bergerak menuju
elektrode dan dinetralkan, kemudian mengendap. Dengan demikian, asap buangan
industri tidak mengandung partikel polutan.
Gambar 9. Alat Cottrell
Aliran listrik juga dapat menarik
koloid yang berupa partikel karbon dan debu pada asap yang dihasilkan dari
proses pembakaran di tungku-tungku pembakaran. Pada alat ini partikel positif
dan partikel negatif dari asap akan mengendap pada lempengan-lempengan yang
bermuatan listrik, sehingga udara yang di luar akan bebas dari partikel karbon.
Selain itu, prinsip elektroforesis
juga digunakan dalam mengidentifikasi DNA dalam rangka mengidentifikasi korban
atau pelaku kejahatan.
1.
Adsorpsi
Adsorpsi
adalah peristiwa penyerapan suatu molekul atau ion pada permukaan suatu zat.
Partikel koloid mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi ion atau muatan listrik
dari fase pendispersinya sehingga menjadi bermuatan listrik. Berdasarkan muatan
listriknya, koloid dikelompokkan menjadi dua, yaitu koloid bermuatan positif
dan koloid bermuatan negatif. Misalnya, sol Fe(OH)3 dalam air
mengadsorpsi ion positif sehingga
bermuatan positif, sedangkan sol As2S3 mengadsorpsi ion
negatif sehingga bermuatan negatif.
Gambar 10. Adsorpsi ion oleh partikel koloid
Sifat adsorpsi dari koloid digunakan dalam berbagai proses, antara lain:
1) Pemutihan
gula tebu
Gula yang masih
berwarna dilarutkan di dalam air, kemudian dialirkan melalui tanah diatomae dan
arang tulang. Zat-zat warna dalam gula akan diadsorpsi, sehingga diperoleh gula
yang putih bersih.
2) Norit
Norit adalah tablet
yang terbuat dari karbon aktif. Di dalam usus, norit membentuk sistem koloid
yang dapat mengadsopsi gas atau zat racun.
3) Penjernihan
air
Untuk menjernihkan air
dapat dilakukan dengan menambahkan tawas (aluminium sulfat). Di dalam air,
aluminium sulfat terhidrolisis membentuk Al(OH)3 yang berupa koloid.
Koloid Al(OH)3 ini dapat mengadsorpsi zat-zat warna atau zat
pencemar dalam air.
1.
Koagulasi
Koagulasi
adalah penggumpalan partikel koloid dengan membentuk endapan. Terjadinya
endapan menunjukkan zat terdispersi tidak lagi membentuk koloid. Koagulasi
dapat terjadi secara fisika yang disebabkan oleh pemanasan, pendinginan, dan
pengadukan. Proses tersebut mengakibatkan pengurangan jumlah ion atau molekul
air di sekeliling partikel koloid. Oleh karena itu, partikel-partikel koloid
akan bergabung membentuk
partikel-partikel yang lebih besar sehingga terjadi pengendapan. Koagulasi juga
dapat terjadi secara kimia, seperti penambahan elektrolit atau zat-zat kimia
dan pencampuran koloid yang berbeda muatan. Partikel-partikel koloid akan
berikatan dengan ion-ion yang berlawanan muatannya. Oleh karena itu, muatan
partikel koloid menjadi netral kemudian mengendap.
Berikut
ini beberapa contoh koagulasi dalam kehidupan sehari-hari:
1)
Pembentukan delta di muara sungai
terjadi karena koloid tanah liat dalam air sungai mengalami koagulasi ketika
bercampur dengan elektrolit dalam air laut.
2)
Penggumpalan karet dalam lateks dengan
penambahan asam format.
3)
Penggumpalan lumpur koloidal dalam air
dengan penambahan tawas. Sol tanah liat dalam air sungai biasanya bermuatan
negatif akan akan digumpalkan oleh ion Al3+ dari tawas.
4)
Penggumpalan asap atau debu dari pabrik
atau industri menggunakan alat koagulasi listrik dari Cottrell.
2.
Koloid
Pelindung
Koloid
pelindung adalah suatu jenis koloid yang dapat melindungi koloid lain agar
tidak mengalami koagulasi atau penggumpalan. Koloid pelindung membentuk lapisan
di sekeliling partikel koloid yang dilindungi. Berbagai macam makanan,
obat-obatan, dan hasil industri pada umumnya menggunakan koloid pelindung,
misalnya susu. Susu terdiri atas minyak yang terdispersi dalam fase air.
Seperti telah diketahui, minyak dan air tidak dapat bercampur. Apabila campuran
minyak dan air dikocok, campuran tersebut akan terpisah lagi. Oleh karena itu,
dalam susu ditambahkan kasein sebagai koloid pelindung. Kasein akan membentuk
lapisan pelindung di sekitar tetes-tetes
kecil dari minyak ketika campuran dikocok sehingga tidak terjadi penggumpalan.
Koloid pelindung emulsi disebut emulgator.
Berikut ini beberapa contoh lain penggunaan koloid pelindung.
1)
Susu, lemak dalam air susu menjadi
stabil karena adanya kasein sebagai emulgator.
2)
Gelatin digunakan untuk mencegah
pembentukan kristal besar pada pembuatan es krim.
3)
Cat dan tinta dapat bertahan lama karena
menggunakan koloid pelindung.
4)
Zat pengemulsi, seperti sabun dan
detergen juga merupakan koloid pelindung.
3.
Dialisis
Dialisis
adalah suatu cara pemurnian sistem koloid dari ion-ion pengganggu yang
menggunakan selaput semipermeabel. Caranya, sistem koloid dimasukkan ke dalam
kantong semipermeabel, dan diletakkan dalam air. Selaput semipermeabel ini
hanya dapat dilalui oleh ion-ion, sedangkan partikel koloid tidak dapat
melaluinya. Ion-ion yang keluar melalui selaput semipermeabel ini kemudian
larut dalam air. Dalam proses dialisis hilangnya ion-ion dari sistem koloid
dapat dipercepat dengan menggunakan air yang mengalir.
Gambar 11. Dialisis
Misalnya, pembuatan sol Fe(OH)3 akan
terdapat ion-ion H+ dan Cl-. Ion-ion ini akan mengganggu
kestabilan sol Fe(OH)3 sehingga sol Fe(OH)3 mudah
mengalami koagulasi. Contoh dialisis dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
a.
Prinsip ini diterapkan dalam proses cuci
darah bagi penderita gagal ginjal,
b.
Proses pemisahan hasil-hasil metabolisme
dari darah oleh ginjal.
1.
Koloid
Liofil dan Koloid Liofob
Berdasarkan
sifat adsorpsi partikel koloid terhadap medium pendispersi yang berfasa cair,
koloid dibedakan menjadi koloid liofil dan koloid liofob. Untuk lebih jelasnya,
pelajarilah uraian berikut:
a.
Koloid Liofil
Koloid
liofil adalah koloid yang senang cairan (bahasa Yunani Iyo berarti cairan; philia artinya
senang). Partikel-partikel koloid liofil akan mengadsorpsi molekul cairan
sehingga terbentuk selubung di sekeliling partikel koloid. Jika medium
pendispersinya air maka disebut hidrofil (senang air). Koloid liofil, misalnya
sabun, detergen, kanji, protein, dan agar-agar.
Salah
satu contoh koloid liofil adalah gel. Gel merupakan koloid hidrofil yang
setengah kaku. Gel terjadi di fase terdispersi menyerap banyak sekali medium
pendispersi sehingga menjadi sangat kental dan hampir padat. Gel dapat
terbentuk dari sol liofil dengan cara menguapkan medium pendispersinya. Selai,
dodol, agar-agar merupakan contoh dari gel.
b.
Koloid Liofob
Koloid
liofob adalah koloid yang benci cairan (phobia
artinya benci). Partikel-partikel koloid liofob tidak mengadsorpsi molekul
cairan. Jika mediumnya air maka disebut hidrofob (benci air), misalnya sol
belerang, sol Fe(OH)3, dan sol logam. Untuk menjaga kestabilan,
koloid liofob mengadsorpsi ion atau muatan listrik. Setelah mengadsorpsi ion
atau muatan listrik, koloid liofob akan mengalami koagulasi.
Tabel Perbedaan Sol Liofil dan
Liofob
No |
Sol Liofil |
Sol Liofob |
1 |
Stabil |
Kurang stabil |
2 |
Kekentalan
tinggi |
Kekentalan
rendah |
3 |
Sukar diendapkan dengan penambahan
elektrolit |
Mudah diendapkan dengan penambahan
elektrolit |
4 |
Kurang dapat menunjukkan efek Tyndall
dan gerak Brown |
Sangat jelas menunjukkan efek Tyndall
dan gerak Brown |
5 |
Muatan listrik bergantung pada medium |
Muatan listrik
tertentu
|
6 |
Umumnya dapat
dibuat dengan cara disperse |
Dibuat dengan
cara kondensasi
|
7 |
Dapat dibuat
gel |
Tidak dapat
dibuat gel |
8 |
Terdiri atas zat-zat organik, misalnya
lem kanji, tinta, dan sabun |
Terdiri atas zat-zat anorganik,
misalnya sol emas, sol AgCl, dan sol logam |
Tabel
5. Perbedaan Sol Liofil dan Liofob
Contoh pemanfaatan sifat hidrofil dan hidrofob yaitu pada
penggunaan sabun atau detergen dalam proses pencucian pakaian.
Cara kerja sabun atau
detergen:
Dalam membersihkan kotoran yang melekat pada pakaian, kulit atau
benda-benda lainnya yang berasal dari debu, keringat, lemak, atau noda minyak
dan sebagainya prinsipnya sebagai berikut:
- Sabun
cuci sering disebut juga sabun keras. Contoh: Natrium stearat.
Gambar
12. Sabun
-
Molekul sabun atau detergen terdiri dari
dua bagian, yaitu:
1) Bagian “ekor” adalah rantai hidrokarbon
(sebagai bagian molekul yang tidak suka dengan air/ hidrofob) mempunyai sifat
mudah bercampur dengan lemak atau minyak.
2) Bagian “kepala” bersifat hidrofil (mudah
bercampur dengan air).
-
Mula-mula bagian “ekor” masuk dalam
kotoran atau lemak, sedangkan bagian “kepala” ditarik oleh molekul air, maka
kotoran pakaian dikelilingi molekul sabun dan lepas dari pakaian kemudian masuk
ke dalam air.
Gambar 13. Cara kerja sabun mengangkat kotoran
pada kain
1.
Cara
Pembuatan Koloid
Pembuatan
sistem koloid terbagi atas 4 bagian: cara kondensasi, cara dispersi dan cara
asosiasi.
1. Cara
Kondensasi
Dengan cara kondensasi, partikel larutan
sejati (molekul dan ion) bergabung menjadi partikel koloid. Cara ini dapat
dilakukan melalui reaksi-reaksi kimia, seperti reaksi redoks, reaksi
hidrolisis, reaksi dekomposisi rangkap dan reaksi penggantian pelarut.
a. Reaksi
redoks
Reaksi redoks adalah reaksi yang
disertai perubahan bilangan oksidasi.
Contoh:
Pembuatan
sol belerang dari reaksi antara hidrogen sulfida (H2S) dengan
belerang dioksida (SO2), yaitu dengan mengalirkan gas H2S
ke dalam larutan SO2.
2H2S(g)
+ SO2(aq) → 2H2O(l) + 3S(koloid)
b. Reaksi
hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi suatu zat
dengan air.
Contoh:
Pembuatan
sol Fe(OH)3 dari hidrolisis FeCl3. Apabila ke dalam air mendidih ditambahkan
FeCl3, akan terbentuk sol Fe(OH)3.
FeCl3(aq)
+ 3H2O(l) → Fe(OH)3(koloid) + 3HCl(aq)
c. Dekomposisi
Rangkap
Pembuatan koloid dengan
cara dekomposisi rangkap adalah pembuatan sol As2S3 dan
sol AgCl.
Contoh 1 :
Sol
As2S3 dapat dibuat dari reaksi antara larutan H3AsO3
dengan larutan H2S.
2H3AsO3(aq)
+ 3H2S(aq) → As2S3(koloid) + 6H2O(l)
Contoh
2 :
Sol
AgCl dapat dibuat dengan mencampurkan
larutan perak nitrat encer dengan larutan HCl encer.
AgNO3(aq) + HCl(aq) →
AgCl(koloid) + HNO3(aq)
d. Penggantian
pelarut
Selain
dengan cara-cara kimia seperti sebelumnya, koloid juga dapat terbentuk dengan
penggantian pelarut.
Contoh
: Apabila larutan jenuh kalsium asetat dicampur dengan alkohol akan terbentuk
suatu koloid berupa gel.
2. Cara
Dispersi
Pembuatan koloid dengan cara dispersi dilakukan
dengan cara memecah partikel kasar menjadi partikel koloid.
a. Cara Mekanik
Pembuatan
koloid dengan cara mekanik dilakukan dengan menggerus partikel kasar di dalam
lumpang atau penggiling koloid hingga diperoleh kehalusan pada tingkat tertentu.
Contoh
:
Sol
belerang dapat di buat dengan menggerus serbuk belerang bersams-sama dengan
suatu zat inert (seperti gula dan pasir), kemudian mencampur serbuk halus itu
denga air.
b. Cara
Peptisasi
Pembuatan
koloid dengan cara peptisasi dilakukan dengan memecah butir-butir kasar dari
suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi (pemecah).
Contoh :
Agar-agar dipeptisasi oleh air,
nitroselulosa oleh aseton, karet oleh bensin, dan lain-lain. Endapan NiS
dipeptisasi H2S dan endapan Al(OH)3 oleh AlCl3
c. Cara
busur Bredig
Cara
busur bredig banyak digunakan untuk membuat sol logam. Logam yang akan di buat
sol dijadikan sebagai elektrode yang dicelupkan kedalam medium pendispersi dan
diberi aliran listrik di antara elektrodenya. Karena diberi aliran listrik,
atom-atom logam terdampar ke dalam medium pendispersi. Selanjutnya atom-atom
itu mengalami kondensasi hingga membentuk koloid.
Gambar
14. Pembuatan sol logam dengan busur
Bredig
a. Homogenisasi
Pembuatan
koloid dengan homogenisasi dilakukan dengan mesin khusus. Misalnya, pembuatan
susu kental manis yang bebas kasein dan pembuatan obat. Susu kental manis itu
dibuat dengan mencampurkan serbuk susu skim ke dalam air di dalam mesin
homogenisasi. Akibatnya, partikel-partikel susu akan berubah menjadi seukuran
partikel koloid. Demikian juga dengan pembuatan emulsi obat yang dilakukan di
pabrik.
3.
Koloid
Asosiasi
Berbagai
jenis zat, seperti sabun dan detergen, larut dalam air tetapi tidak membentuk
larutan, melainkan koloid. Molekul sabun dan detergen terdiri atas bagian yang
polar (disebut kepala) dan bagian yang nonpolar (disebut ekor).
Gambar 15. Larutan sabun merupakan koloid asosiasi. Skema
cara kerja detergen: (a) kotoran atau bercak lemak pada bahan cucian; (b)
molekul sabun atau detergen menarik kotoran dengan gugus nonpolarnya; (c)
kotoran mulai terangkat; (d) kotoran didispersikan dalam air.
Bagian ini sudah dijelaskan pada subbab
koloid liofob dan liofil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar